Monday 20 February 2017

Ketika Bahagia, Segala Hal Baik Akan Mengikuti


Catatan HENRIKH MKHITARYAN


TAKDIR dalam hidup sangat menarik. Setelah musim hebat bersama Shakhtar Donetsk, saya ditawari pindah ke klub Jerman Borussia Dortmund. Kebetulan, konflik di Donetsk terjadi tak lama setelah itu dan stadion di kota tersebut tidak bisa dipakai.

Jadi, saya pindah ke Jerman dan tidak hanya mempelajari bahasa baru, melainkan juga kultur serta atmosfer yang sangat berbeda dengan yang saya ketahui sebelumnya. Itu momen yang sulit. Musim pertama oke, tapi musim kedua kacau balau. Tidak hanya bagi saya, tetapi juga klub.

Kami kalah begitu banyak dan saya merasa tidak beruntung. Bukan hanya tidak mencetak gol, tapi juga tak mencatatkan assist, dan itu sangat bukan saya. Saya didatangkan dengan uang banyak dan itu memberikan tekanan.

Saya mengalami banyak malam yang berat dalam apartemen di Dortmund, hanya sendiri, berpikir dan berpikir. Saya tak bernafsu pergi ke luar, meski hanya untuk makan malam. Tapi, saya kemudian sadar, takdir begitu menarik. Pelatih baru, Thomas Tuchel, datang ke Dortmund pada musim ketiga saya dan dia mengubah segalanya buat saya.

Dia datang dan berkata, ’’Dengarkan, saya menginginkan segalanya darimu keluar.’’ Saya hanya tersenyum dan tertawa. Sebab, saya pikir dia hanya ingin membuat saya merasa baik. Saya ragu dengan kata-katanya. Tapi, dia menatap saya dengan serius dan berkata, ’’Micki, kamu akan melakukan hal hebat.’’

Hal itu sangat berarti bagi saya. Setelah musim itu berakhir, saya tidak berpikir akan menjadi seorang bintang. Tapi, dia membuat saya melakukannya. Dia membuat semua kemampuan saya keluar pada musim itu karena saya bahagia lagi.

Ketika kamu bersedih, kamu tidak akan beruntung. Itu adalah sesuatu yang saya pelajari dari kultur Brasil. Ketika kamu bahagia, segala hal baik akan mengikuti di lapangan. Musim itu kami bermain dengan antusiasme. Kami bermain gila-gilaan, sangat menyerang, dan menikmati setiap menit di lapangan.

Pada dasarnya, kami bermain dengan dua bek, tiga gelandang, serta lima striker. Kami sukses. Meski kalah, kami tetap bisa bersenang-senang.

Pada musim panas lalu, agen saya menelepon dan berkata bahwa Manchester United tertarik untuk merekrut saya. Saya terkejut. Saya katakan, ’’Benarkah? Atau, itu hanya spekulasi?’’

Ketika mimpimu begitu dekat untuk menjadi nyata, rasanya tidak nyata pada mulanya. Beberapa hari kemudian, ketertarikan Manchester United terkonfirmasi ketika saya mendapat telepon dari Ed Woodward, direktur eksekutif United. Dia berkata, klub itu sangat berminat kepada saya. Anda bisa membayangkan betapa saya senang dengan kemungkinan itu!

Ketika agen saya dan klub melakukan negosiasi, saya memiliki waktu untuk mempertimbangkan pilihan. Saya tahu, akan menjadi tantangan sulit ketika meninggalkan situasi yang bagus di Dortmund untuk sukses di United. Tapi, saya tidak ingin duduk di kursi pada masa tua dengan penyesalan. Saya siap pindah. Saat kesepakatan terjadi dan beres, saya duduk meneken kontrak dengan United dan saat itu saya tersadar... Saat itu saya menyadari, kepindahan besar ke Premier League telah terjadi. Saya tidak pernah melupakan momen tersebut. Juga, tak melupakan momen ketika saya memakai jersey Manchester United berwarna merah dalam latihan pertama tim. Itu membuat saya begitu bahagia dan bangga akan pencapaian dalam karir. Pada awal musim di United, saya mengalami cedera dan tidak banyak kesempatan bermain. Sangat adil ke- tika mengatakan saya tidak memulai karir dengan baik di Manchester. Ada beberapa momen ketika saya merasa mengalami kemunduran dan saya tak akan menyerah. Saya terus bekerja keras setiap hari sehingga bisa membantu tim sukses.

Apabila kamu bertanya kepada ibu dan kakak perempuan saya tentang saya, mereka akan berkata, saya agak keras kepada diri sendiri. Saya bisa sangat serius. Tapi, sejujurnya, saya sangat bahagia dengan hidup yang telah dijalani. Selalu menjadi impian untuk membela klub raksasa.

Ketika kamu berjalan menuju lapangan di Old Trafford, itu bukan hanya lapangan, melainkan panggung. Apabila ayah bisa melihat saya di panggung itu, saya pikir dia akan sangat bangga. Saya selalu merasa terlindungi olehnya. Meski dia tak di sana, dia telah menolong saya mencapai tempat ini.

Apabila dia masih hidup, mungkin saya akan menjadi pengacara atau dokter sekarang. Daripada menjadi pemain sepak bola.

Sungguh lucu ketika setelah pertandingan saya melihat diri sendiri di TV. Saya benci melihat diri sendiri karena saya selalu mencatat setiap kesalahan. Saya sangat berbeda dengan ayah soal gaya bermain. Dia adalah striker yang cepat dengan tendangan yang kencang. Saya lebih berteknik. Tapi, banyak orang di kampung halaman Armenia yang berkata kepada saya bahwa saya mirip dengan ayah.

Mereka berkata, ’’Henrikh, kamu mirip. Cara berlarimu sama. Kamu mengingatkan saya akan Hamlet ketika menontonmu.’’

Saya tidak akan tahu karena saya tidak bisa berdiri dan menyaksikan diri sendiri, tapi itu masuk akal. Saya pertama mengimpikan berlari di lapangan dengan bebas kala menyaksikan video tentangnya setelah dia meninggal. (*/habis)

Bagian terakhir tulisan gelandang Manchester United asal Armenia Henrikh Mkhitaryan yang pernah dimuat The Players’ Tribune pada edisi 28 November 2016

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr