Friday 16 June 2017

Sepak Bola Aceh: Timbul, Tenggelam...

Ariful Azmi Usman
Oleh, Ariful Azmi Usman
DI Persebaya Surabaya ada Andri Muliadi dan Miswar Syahputra. Menyeberang sedikit ke Gresik United, ada Fitra Ridwan. Sedangkan di Bhayangkara FC yang baru saja boyongan dari Surabaya ke Bekasi, ada Zulfiandi.
Melintas provinsi, ke Jawa Tengah, ada Faumi Syahreza di Persijap Jepara. Daftar itu bisa terus diperpanjang dengan menyebutkan Ismed Sofyan (Persija), Miftahul Hamdi dan Syakir Sulaiman di Bali United, Hendra Sandi Gunawan di Sriwijaya FC, Nazalul Fahmi di Barito Putera...masih banyak lagi!
Lalu, apa benang merah dari semua pemain yang bertebaran di klub Liga 2 dan Liga 1 itu? Mereka semua putra Aceh. Lahir dan merintis karir di Tanah Rencong itu sebelum merantau ke berbagai penjuru tanah air.
Ya, klub-klub Aceh boleh timbul (sebentar)-tenggelam (untuk waktu yang lama). Tapi, provinsi berjuluk Serambi Makkah yang hanya berpenduduk sekitar 5 juta orang itu tak pernah berhenti melahirkan bakat pesepakbola.
Perlu dicatat, dua tahun berturut-turut PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar) Aceh juara nasional. Tahun ini, dua pemain PPLP Aceh, Aulia Hidayat dan T. Noer Fadhil, juga terpanggil ke tim nasional (timnas) U-19.
Bakat-bakat itu lahir dari berbagai pelosok Aceh. Terbantu oleh tersedianya lapangan di tiap kampung. Dan, gairah yang sedemikian tinggi kepada sepak bola. Datanglah ke berbagai kota dan kampung di Aceh, pasti terdapat warung kopi di sana. Dan, di hampir semua warung kopi itu, selalu ada layar lebar untuk nonton bareng laga sepak bola. Tak pernah sepi pengunjung, apalagi jika ada pemain asal Aceh yang tampil.
Sepak bola, bagi warga Aceh, memang bagian dari keseharian yang sejarahnya menjulur panjang. Klub pertama di sini, Voetbal Atjech, bahkan sudah tercatat berdiri pada 1930-an di Bireun.
****
Pemain berbakat tak pernah berhenti lahir. Sejarah sedemikian mengakar dan antusiasme warga begitu tinggi. Lalu, mengapa klub-klub Aceh sulit berprestasi?
Gelar paling terhormat terakhir di pentas sepak bola nasional yang berhasil dibawa pulang ke Aceh sudah berjarak 37 tahun. Persisnya saat Persiraja Banda Aceh menjuarai Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1980.
Sesudahnya tak ada yang layak dikenang. Pada Liga Indonesia 2007, ada dua klub Aceh di divisi teratas Liga Indonesia, Persiraja dan PSSB Bireun. Tapi, keduanya terpuruk di papan bawah.
Kini bahkan hanya ada dua klub Aceh di pentas nasional. Itu pun di Liga 2, yaitu Persiraja dan PSBL Langsa.
Pada 2016, saat mengikuti Indonesia Soccer Championship (ISC) B, raihan Persiraja sebenarnya tidak buruk meski hanya mempersiapkan diri dalam waktu sebulan.
Persiraja menjadi juara grup 1 yang dihuni klub-klub Sumatera. Di bawah asuhan pelatih Akhyar Ilyas, Persiraja lolos sampai di 16 besar. Namun, gagal melangkah lebih jauh lagi karena alasan finansial, termasuk untuk kebutuhan tiket pesawat. Begitu pula dengan PSBL Langsa yang finis di posisi ketiga grup 1.
Finansial hanyalah salah satu penyebab sulitnya klub-klub Aceh berkembang. Penghambat lain adalah bencana alam dan konflik bersenjata berkepanjangan yang dulu membelit Tanah Rencong.
Ketika Kesepakatan Damai di Helsinki pada 2005 berhasil mengakhiri konflik bersenjata dan dampak tsunami telah sepenuhnya teratasi, muncul aral lainnya yang tak kalah berat: kisruh di PSSI.
Bahkan, kisruh di federasi itu pula yang menyebabkan upaya kebangkitan sepak bola Aceh pada 2010 terhadang. Ketika itu, Persiraja yang menjadi mercusuar sepak bola Aceh mengakhiri musim sebagai runner-up Divisi Utama dan promosi ke Indonesia Super League (ISL).
Tapi, dualisme kemudian terjadi di PSSI. Persiraja memilih bermain di Indonesian Premier League, sedangkan klub Aceh lain, PSAP Sigli, di waktu bersamaan bermain di Indonesia Super League. Di tengah suasana persepakbolaan Indonesia yang tak sehat, dua klub itu pun gagal berbicara.
***
Upaya membangkitkan sepak bola Aceh bukannya tidak pernah dilakukan. Tak banyak yang tahu bahwa pada 2008 sebanyak 30 bakat muda Aceh dikirim ke Paraguay untuk berguru sepak bola. Semacam PSSI Primavera dan Baretti yang disekolahkan ke Italia dulu.
Tiga tahun mereka di Paraguay. Harapannya, sekembalinya ke Aceh, bakal menjadi fondasi di tim Aceh yang mampu bersaing di pentas nasional. Tapi, mereka kembali di saat yang tidak tepat. Pada 2011 itu, kisruh PSSI tengah panas-panasnya. Mereka pun terseret.
Jadilah kiprah alumni Paraguay itu pun sunyi dari sorotan. Di antara mereka yang rata-rata kini baru berusia 23 tahun, tak sedikit yang masih percaya akan masa depan cerah. Termasuk Andri Muliadi yang kini membela Persebaya, misalnya.
Namun, ada juga yang memilih memenjarakan sepak bola dan menjalankan aktivitas lain. Mulai berbisnis sampai menjadi polisi.
Bayangkan seandainya ada klub di Aceh yang dikelola secara profesional, terbuka lebar kemungkinan bakat-bakat asal Tanah Rencong akan memilih mudik. Dan, bila itu terjadi, mereka bakal jadi kekuatan dahsyat.
Sebab, setidaknya mengacu kepada nama-nama yang disebutkan di awal tulisan ini, bakat-bakat Aceh itu merata di semua lini. Bayangkan pula betapa bakal hiruknya Stadion Harapan Bangsa, stadion kebanggaan Aceh, di Banda Aceh yang berkapasitas 45 ribu penonton itu.
Tapi, realistis saja lah, dengan kondisi yang ada sekarang, bisa bertahan di Liga 2 sudah merupakan capaian tak buruk bagi Persiraja dan PSBL. Semoga saja itu tak sampai membuat bakat-bakat Aceh layu sebelum berkembang. Sebab, setidaknya lewat anak-anak muda itulah, Aceh tak lantas hilang dari peta sepak bola nasional. (*)
Sudah pernah diterbitkan oleh Jawa Pos:  http://www.jawapos.com/read/2017/04/18/124187/sepak-bola-aceh-timbul-tenggelam

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr