Sunday 23 August 2015

Kisah Konflik Aceh, Dia Tidak Dendam, Meskipun...

Aula Andika
Saat saya tiba, Aula sedang menunggu di depan, awalnya saya sudah berjanji untuk bersilaturahmi ke rumahnya di kawasan Lampasi Engking, Kecamatan Darul Imarah, kabupaten Aceh Besar. Rumahnya, sudah setengah jadi dengan ikatan batu bata.

Di halaman rumah sebelah kiri, berdiri sebuah kios kecil yang menjual sayur, ibu-ibu sedang asyik bercengkrama. "Disana ibu saya, beliau menjual sayur," kata Aula. Lantas kami langsung masuk ke dalam rumah, setelah bersalaman dengan sang ibu.

Beberapa foto ukuran postcard terlihat di samping kanan pintu masuk, Aula memperkenalkan foto-foto tersebut saat saya bertanya penasaran. Foto-foto di dinding tersebut adalah foto keluarganya, kekejaman konflik telah memisahkan Aula kecil dengan Ayahnya.

Namun, sebagai orang yang berpendidikan, tak sedikitpun dendam terbesit di hatinya. Dicertiakan Aula, saudara kandung dan ayahnya menjadi korban keganasan konflik di Aceh, semua terjadi dalam tahun 2004. Bulan satu Ayahnya dipanggil menghadap sang ilahi, dua bulan setelahnya, abang kandungnya juga ikut menjadi korban. Kemudian, pada akhir 2004, Tsunami yang melanda Aceh juga merenggut nyawa sang kakak.

Aula kecil yang baru berusia 11 tahun saat itu, dan duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar (SD), harus menerima kenyataan pahit. Lantas sang Ibu yang tidak mengecap pendidikan sekolah formal harus membimbing putra bungsunya untuk mencapai cita-citanya.

Sadar dengan keadaan keluarganya, Aula tidak terlarut dalam kesedihan mendalam, dirinya bangkit dari tahun kelam itu. "Sebenarnya suka duka, dan air mata sudah menjadi bagian dari perjalanan setiap hari, tidak ada uang jajan pun sudah jadi hal biasa saat itu, penghasilan ibu pun hanya 10 ribu dari jualan sayur setiap hari," kata Aula yang saat ini sudah melanjutkan studi di Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 

Segudang prestasi sejak SD, SMP dan SMA pun diraih oleh pria yang murah senyum ini. Saat sekolah, dirinya selalu masuk dalam tiga besar di kelasnya. Terakhir dalam pemilihan Duta Wisata Aceh Besar tahun 2015, aula pun menjadi runner up. 

Menurutnya, keterpurukan dan kemiskinan itu bukan lah halangan. Namun demikian, ekonomi selalu menjadi kendala besar baginya, karena faktor ketiadaan ayah dan seorang ibu yang bukan orang berpendidikan tinggi. "Inilah yang menjadi cambuk buat saya untuk berprestasi, menahan diri untuk tidak meminta uang jajan, dan berusaha sendiri. Saya juga ingin mewujudkan cita-cita almarhum ayah yang menginginkan anaknya memakai toga dan menjadi sarjana."

Tidak sampai disitu saja, Aula yang sudah duduk di semester akhir kuliah, juga pernah menorehkan prestasi lainnya, baik nasional maupun internasional. Yakni, Raja Baca Provinsi Aceh 2014. Serta pernah menjadi peserta di Paris Model United Nation, Mumbai Model United Nation, dan Entreprenuer Winter School, masing-masing perhelatan tersebut diselenggarakan di Prancis, India, serta Hong Kong. 

Bulan Mei 2014, Aula menjadi salah satu delegasi Aceh dalam Indonesia Youth Forum di Wakatobi Sulawesi Tenggara.  Setelahnya, disana dirinya dianugerahi sebagai Duta Promosi Pariwisata Kabupaten Wakatobi dengan masa kerja 2014-2016. "Jangan jadikan kemiskinan sebagai penghalang untuk berprestasi, kecuali memang tidak ingin berusaha," ujar ketua FLP Banda Aceh ini.

Tidak terasa, secangkir sirup merah dingin, hidangan di meja tamu sudah hampir habis kami minum. Kepada pemerintah, Aula tidak berharap banyak, hanya berharap agar pemerintah bisa merangkul pemuda dan korban konflik untuk bangkit bersama, apalagi menurutnya langkah pemuda lebih energik.

Di akhir pembicaraan Aula Andika Fikrullah Albalad berharap pemuda Aceh agar berani keluar dari zona aman. Menurutnya, pemuda masih belum berani keluar dari zona aman. "Jangan bangga jadi raja di kandang sendiri, banggalah jadi raja di kandang orang lain," tuturnya.


*Tulisan ini sudah pernah dimuat pertama oleh koran Rakyat Aceh

1 comment:

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr