Wednesday 14 December 2016

Yang Tersisa di Lueng Putu

Rumoh Aceh

Walau nyaris berusia seabad, rumah panggung berwarna biru di Keude Lueng Putu itu, masih berdiri tegak. Padahal telah melewati gempa 8,9 Skala Richter (SR) saat Aceh dilanda tsunami. Terakhir, gempa 6,5 SR yang menghancurkan Pidie Jaya, rumah itu juga selamat. 

USIA Aminah telah senja. Tak terhitung jumlah gempa yang telah dirasakannya. Dalam usianya yang memasuki 70 tahun, pekan lalu, bumi berguncang 6,5 SR mengetarkan kampung halamannya. Walau berada dalam rumah, ia hanya pasrah. Hingga gempa berakhir, rumahnya tetap tegak.

Rumah panggung yang ditempati Aminah disebut Rumoh Aceh, dengan arsitektur tradisional. Ia mengisahkan, rumahnya dibangun sejak dirinya belum lahir.

Menurutnya, saat ia masih kanak-kanak, di kawasan Lueng Putu, Pidie Jaya, semua warga tinggal di Rumoh Aceh. Namun berlahan berubah mengikuti perkembangan zaman. Kini mayoritas rumah berkonstruksi beton.

"Sejak lahir saya tinggal di rumah Aceh ini, keluarga almarhum ibu saya bangun ini sejak dulu, dan hanya direnovasi beberapa kali, tidak merubah bentuk asli rumah," ungkapnya dalam bahasa Aceh.
Rumoh Aceh dibangun dengan bahan kayu sederhana, berdempetan dalam area yang terbatas. Tiang-tiangnya dari kayu bulat, dindingnya dari papan atau daun kelapa yang dianyam rapi.

Sementara lantainya, terdiri dari papan, kayu nibung atau bambu, atap dibuat dari daun kelapa dan alang-alang.

Di bawahnya, dari kolong rumah yang biasa memiliki tinggi 2-3 meter ini, kaum wanita mengasuh anak sambil melakukan kegiatan pekerjaan tangan membuat tikar, dan perabot rumah tangga. "Di siang hari, sirkulasi udara di kolong rumah lebih sejuk, dibandingkan dengan keadaan di dalam rumah," kata Aminah.

Rumoh Aceh miliknya, juga pernah merasakan goncangan gempa dahsyat 8,9 SR 2004 lalu di Aceh. Aminah mengaku nyaman dengan satu-satunya harta yang dimiliki itu, sembari menghabiskan masa tuanya. "Saya nyaman dengan rumah ini, dan saat gempa hari itu (7 Desember 2016) hanya tiang rumah yang sedikit bergeser, lainnya tidak apa-apa," jelasnya.

Aminah menyebut saat ini Rumoh Aceh hampir punah, karena kebanyakan masyarakat sudah mengubahnya menjadi permanen. Saat ini di Pidie, rumah Aceh hanya tersisa di Desa Kembang Tanjong. Selebihnya, sudah jarang ditemukan.

Pengalaman yang sama, dirasakan Fadli (37), warga desa Jiem Jiem, Pidie Jaya, ia mengaku beruntung dengan Rumoh Aceh peninggalan leluhurnya. Di saat rumah beton, menjadi rata dengan tanah, rumah kayu menjadi andalan.

"Kekuatan gempanya memang dahsyat, di sini sangat terasa. Kalau rumah, hanya tergeser tiang aja," jawab Fadli.

Namun demikian, Fadli dan keluarga lebih memilih untuk membangun terpal dan mengeluarkan bantal ke depan rumah. Guna terhindar dari gempa susulan. "Kalau trauma sudah hilang, dan sudah aman dari gempa, tiang-tiang rumah akan kita geser lagi." 

*Sultan Memilih Bangunan Sesuai Wilayah

Aceh dikenal dengan kesultanannya yang megah, surat-suratnya sampai ke benua seberang, London, Istanbul, Laiden, hingga Lisbon, Portugal. Lantas, kenapa tidak ada peninggalan bangunan semacam benteng atau sejenisnya di tanah Aceh?

Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar Mahdi di Banda Aceh menjawab Rakyat Aceh, atas alasan kondisi alam Aceh maka tidak ada bangunan yang menjulang tinggi yang tertinggal di Aceh. "Sultan-sultan terdahulu, lebih memilih membuat bangunan yang sesuai dengan wilayah," terang Mizuar.

Bahkan, Mizuar membandingkan, para pendahulu, lebih memilih memahat nisan dan menuliskan nasehat-nasehat pada generasi, itu terbukti masih ada saat ini dan dapat dibaca. 

Kamal A. Arif dalam bukunya, Ragam Citra Kota Banda Aceh, bentuk Rumoh Aceh dari tepi pantai hingga pedalaman, sama. Tujuannya untuk menghindari bencana banjir dan serangan binatang buas. Di samping itu, rumah panggung sesuai dengan keadaan alam Aceh.

Menurutnya, kearifan lokal yang turun temurun ini sangat memahami bagaimana selayaknya tinggal di daerah rawan bencana banjir, gempa dan angin kencang yang sesekali terjadi. Lantas, kenapa saat ini Rumoh Aceh nyaris punah? 

*Tulisan sudah dimuat di Harian Rakyat Aceh, 14 Desember 2016

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr