21 April: Peringatan Hari Laksamana Malahayati
Meneladani sang Kreator dan Inovator Dunia
SEORANG filsuf Jerman yang terkenal Arthur Schopenhauer (1788-1860) pernah mengatakan: "Only through history does a nation become completely conscious of it self'. (Hanya melalui sejarahlah suatu Bangsa dapat sepenuhnya sadar akan dirinya sendiri).
Ucapan filsuf tersebut mendorong pemuda-pemudi Aceh memberanikan diri untuk mencoba berusaha menggali kembali sejarah kebesaran bahari yang pernah dimiliki oleh Bangsa kita di masa lampau. Dari perbendaharaan sejarah membuktikan, bahwa Aceh dimasa kejayaannya pernah memiliki Angkatan Laut yang dipimpin oleh seorang Laksamana Wanita. Hal ini sungguh sangat membanggakan hati kita.
Benteng/Kuta Inong Balee sebuah benteng yang terletak di wilayah gampng Lamreh, Aceh Besar, Selasa (21/4) menjadi saksi ketika puluhan mahasiswa yang tergabung dalam BEM FISIP Unsyiah membuat acara Peringatan kepada seorang Laksamana Malahayati yang sekitar 400 tahun lalu pernah mengumpulkan pasukan Inong Balee atau janda sebanyak 2.000 pasukan untuk menyerang Portugis di selat Malaka.
Jarak yang terbentang dari pusat kota Banda Aceh sekitar 35 menit perjalanan menuju Kuta Inoeng Balee tersebut membuat perjuangan menempuh jarak itu memiliki makna tersendiri. Dengan kendaraan roda dua mahasiswa-mahasiswi cucu Laksamana Keumala Hayati datang dengan penuh semangat untuk mengingat kembali indatunya yang saat ini sudah menjadi sejarah besar dalam kemiliteran dunia.
Mereka datang sejak pagi di bawah teriknya matahari yang menerangi benteng dengan tinggi sekitar 5 meter tersebut, bukan untuk bergabung dengan pasukan Inong Balee, bukan untuk menjadi ahli sejarah yang menuliskan tahun dan bulan kejadian masa lampau, tapi semangat mereka memperlihatkan bahwa mereka datang untuk mengambil semangat juang para pendahulunya.
Batu yang mulai berhamburan, benteng/kuta yang sedikit demi sedikit jatuh karna tak kuasa menahan pohon yang akarnya semakin membesar karena waktu. Satu persatu perahu dan kapal nelayan terlihat berlayar di hamparan laut sudut-sudut peninggalan benteng sejauh mata memandang. Tak ada lagi sisa peninggalan selain benteng dan pecahan keramik yang satu persatu berceceran di sekitaran benteng, tak ada lagi kapal Malahayati yang bisa dinaiki untuk berlayar, semuanya adalah sejarah dan menjadi sebuah kisah kebesaran Aceh.
"Teman-teman semua, hari kini kita sudah sampai ke tempat yang ingin kita tuju. Tempat dimana Malahayati pernah mengatur pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka. Hari ini kita akan mengenang jasa-jasa beliau, beliau yang kreatif dan inovatif, dan pada tanggal 21 April 2015 kita jadikan hari ini sebagai hari Laksamana Malahayati," ungkap ketua BEM FISIP Unsyiah dengan sebuah toa putih di bahunya.
Setelahnya, satu persatu mahasiswa-mahasiswi yang hadir membacakan puisi untuk seorang laksamana perang yang gagah dan berani itu. Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) bersama Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA) hadir dalam acara tersebut menjadi pendukung atas kegiatan yang dilaksanakan oleh mahasiswa itu. Muhajir dan Thayeb Loh Angen juga terlihat ikut membaca puisi untuk Laksamana Malahayati itu.
Fakta sejarah ini perlu ditulis, agar dapat diketahui oleh masyarakat secara luas. "21 April 2015 menjadi sejarah baru yang akan terukir dalam tulisan dan akan diperingati di masa mendatang, agar generasi muda tidak lupa akan sejarah bangsanya dan menumbuhkan kembali identitas keacehan yang pernah memudar," Ryan Juliansyah wakil BEM FISIP memberi semangat kepada mahasiswa lainnya.
Setelah selesai melakukan pembacaan puisi, acara yang juga dihadiri oleh salah satu warga kebangsaan Turki tersebut, mahasiswa membacakan Ikrar Kuta Inong Balee, ikrar dibaca oleh ketua BEM dan diikuti oleh mahasiswa lain dan tamu undangan lainnya dengan mengepalkan tangan ke atas.
"Kami generasi Atjeh berjanji menjunjung tinggi Laksamana Keumalahayati sebagai tokoh besar dunia. Kami generasi Atjeh menyatakan bahwa 21 April akan diperingati sebagai Hari Laksamana Keumalahayati. Kami generasi Atjeh berjanji akan selalu menghargai dan menghormati para tokoh, pejuang dan juga indatu Atjeh yang telah mengorbankan segenap harta, jiwa dan raganya untuk memperjuangkan Atjeh. Kami generasi Atjeh berjanji akan menjaga, dan melestarikan sejarah Atjeh sebagai landasan dalam berkehidupan," itulah isi Ikrar Kuta Inong Balee yang dibacakan pada 21 April 2015 oleh mahasiswa dan generasi penerus Aceh.
Usai pembacaan ikrar tersebut, mahasiswa dan peserta yang hadir dalam acara bertajuk “Memperingati Hari Kreatif dan Inovatif Dunia: Meneladani Sang Kreator dan Inovator Laksamana Keumala Hayati” bertolak menuju makam sang Kreator dan Inovator yang terletak tidak jauh dari benteng tersebut. Acara ditutup disana dengan pembacaan do'a.
Malahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Muhammad Said Syah, seorang laksamana pula pada Angkatan Laut Kerajaan Aceh. Malahayati lahir tahun 1560, pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah'Al Qahar memerintah Kerajaan Aceh. Masa pemerintahan Sultan Alauddin berlangsung mulai tahun 1537 hingga 1568.
Chairman Gwacheon City Council, Moon, Bong Sun (Ketua DPRK Gwacheon) salah satu kota yang berada di negara Korea Selatan hadir dalam kunjungan mahasiswa ke makam Malahayati. Dirinya yang datang bersama rombongan mengakui sangat mengagumi Laksamana Keumalahayati. "Kami mendengar dan membaca dari artikel-artikel di Internet dan buku, Aceh pernah mempunyai masa gemilang, kami penasaran. Laksamana Malahayati tempat kami kunjungi adalah salah satu tokohnya, dan kami sangat senang berada disini dan berjumpa dengan generasi-generasi Aceh ini," ungkap Chairman Gwacheon City Council, Moon, Bong Sun dalam bahasa Korea yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Seperti kata pepatah, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Sudah tepat bagi generasi muda untuk merawat ingatan dan menjaga identitas keacehannya. Dukungan dari pemerintah selaku wakil rakyat akan menjadikan Aceh sebagai wilayah yang makmur dan sejahtera.
No comments:
Post a Comment