Monday 17 August 2015

Ketika Wartawan Meliput Konflik di Aceh


Oleh, ARIFUL AZMI USMAN


Peserta dialog perdamaian, memperingati 10 tahun damai Aceh


"Di masa konflik, menulis satu puisi saja, yang bersifat kritik, lagi-lagi taruhannya adalah nyawa. Satu tulisan yang dimuat oleh media massa, akan dibaca oleh orang banyak, besoknya penulis itu tidak tertutup kemungkinan hilang dari tempat asalnya," 

Potongan kata dari budayawan Aceh, Salman Yoga S di atas membuat hadirin terdiam, mata langsung melotot tajam menyimak, saat menghadiri acara bertajuk peran tulisan dalam perdamaian Aceh, di Gedung Turki ACC Sultan II Selim, Banda Aceh beberapa waktu yang lalu.

Tiga penulis Aceh lainnya yang berbicara dalam dialog itu, sastrawan Herman RN, blogger Taufik Al Mubarak, dan penerbit Mukhlisuddin Ilyas. Dalam pemaparannya, keempat penulis ini berbagi pengalaman dan menjabarkan bagaimana peran jurnalis di masa konflik.

Salman Yoga S
Peran media dalam menciptakan perdamaian di Aceh sangat dikekang, ketika diberlakukan darurat militer di Aceh, wartawan semuanya diwajibkan untuk mengisi ID pers khusus, dan ketika ada pemberitaan yang dinilai merugikan pemerintah, itu akan sangat dilarang. Wartawan harus siap-siap untuk berhadapan dengan aparat, pukulan yang mendarat, sudah menjadi makanan kala itu. 


"Di saat masa perdamaian seperti ini, seharusnya kebebasan harus diberikan kepada penulis-penulis di Aceh, biarkan penulis-penulis ini mengekspresikan apa yang dia ingin tuliskan. Saat ini seringkali pendapat-pendapat brmunculan, ketika seseorang melahirkan sebuah buku atau karya tulisnya, akan selalu dianggap bahwa dia menulis atas keterpihakan dan kepentingan kelompok tertentu. Padahal penulis-penulis saat ini selalu mempertaruhkan harga dirinya untuk sebuah tulisan, bahkan jika di masa konflik, mungkin nyawa adalah taruhannya," menurut Salman Yoga.

Ruangan ber-AC dengan ukuran sekitar 50 kursi itu tak terasa sudah penuh, keheningan sesekali terjadi, saat hadirin menghayati apa yang disampaikan oleh pembicara. Dalam acara yang dilaksanakan oleh Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT) bekerja sama dengan ACC Sultan II Selim itu juga dihadiri oleh Tim Perunding GAM saat penanda tanganan MoU Helsinki, yaitu Nur Juli dan Munawar Liza Zainal.

Berbeda dengan saat ini, kala masa konflik, wartawan tidak dibenarkan untuk wawancara dengan panglima GAM apalagi menulis yang baik tentang mereka. "Kalian boleh datang sama kami, tapi jangan pernah tulis apa yang baik tentang mereka," kata Taufik Al Mubarak, mengenang apa yang pernah didengar saat masa-masa sebelum perdamaian.

Taufik al Mubarak
Taufik al Mubarak
Saat itu, diceritakan Taufik, genre jurnalistik baru pun lahir, yaitu, patriotik jurnalism, artinya wartawan harus sangat nasionalis. Ketika masyarakat tak berdosa menjadi korban, dianggap senjata yang meletus tanpa sengaja, perempuan yang diperkosa, anak yang melihat ayahnya disiksa, rumah yang terbakar. Nyaris semua luput dari pemberitaan.

Namun demikian, tak sedikit wartawan yang melawan, hati nurani mereka seringkali berkata lain, hingga beberapa nama diantara mereka ada yang pergi dan tak kunjung kembali pulang. Meski demikian, selalu ada cara bagi wartawan untuk membuat kebaikan, seperti membangun media lain dengan nama wartawannya disamarkan, dan menulis berita yang berbanding terbalik dengan yang diharapkan oleh pengekang.

"Teringat saya, saat itu wartawan dilatih untuk nasionalis di Sanggabuana, dilatih untuk sepaham dengan mereka" kata Taufik, penulis buku 'Aceh Pungo'. Meski pembahasan hari itu termasuk tinggi, namun mereka masih bisa tersenyum lebar, karena masa itu telah berlalu. 

Semasa Darurat Militer pun, bermacam rubrik di koran muncul tentang Aceh, seperti Kompas yang menulis penyelamatan Aceh, tempo menulis perang Aceh, dan Republika menulis operasi terpadu. 

Pahitnya konflik bukan hanya dirasakan oleh wartawan-wartawan dari Aceh, mereka yang datang dari luar Aceh karena ditugaskan untuk liputan ke Aceh pun sama, Dandy Laksono yang saat itu bekerja di SCTV karena mengangkat berita tentang testimoni korban konflik, seperti konflik akan menimbulkan banyak korban dan membutuhkan dana yang besar misalnya, dirinya pun harus angkat kaki dan saat itu program tersebut langsung dipotong dan Dandy dipecat dari media tempatnya bekerja. 

Pada masa konflik, kadangkala jurnalis harus menyembunyikan sebuah berita, merupakan hal yang wajar, karena nyawa selalu menjadi taruhannya. Apalagi peran media dalam konflik sangat besar, jurnalis meliput sebuah konflik, dan konflik menjadi transparan, meskipun mereka tidak mampu menyelamatkan konflik. 

Mukhlisuddin Ilyas
Mukhlisuddin Ilyas
Mukhlisuddin Ilyas dalam dialog yang dipandu oleh Thayeb Loh Angen, serta dihadiri oleh sejumlah tokoh Aceh, baik dari kalangan mahasiswa, Akademisi, insan pers, dan tokoh-tokoh penting Aceh lainnya, mengajak semuanya untuk berkarya dan senantiasa menjaga perdamaian Aceh. "Mari kita mengisi pembangunan Aceh, berbicara dengan mengatakan yang benar, dan menulis apa yang sebenarnya terjadi," paparnya.

Seperti kisah wartawan Adi Warsidi dalam buku inisiatif masyarakat sipil Aceh berjudul 'Berbagi untuk Perubahan', sebelum Tsunami Adi sempat melakukan liputan investigasi ke penjara perempuan di Lhoknga, dirinya menulis tentang banyaknya perempuan yang dipenjara hanya karena istri GAM, dan tuduhan lainnya yang tidak wajar. Adi pun dicari oleh aparat TNI atas koordinasi kepala penjara Lhoknga.

Singkat cerita, fakta menarik yang diketahui Adi belakangan setelah perdamaian, apa yang dilakukan Acehkita sebagai salah satu media ternama di masa konflik, dan wartawannya sering menjadi incaran, ternyata juga dibutuhkan oleh TNI dan GAM.

Kala itu, akhir 2006, saat Adi duduk dengan staf di Penerangan Kodam Iskandar Muda di sebuah warung yang menjadi tempat kumpul wartawan. Tentara itu kemudian bertanya kepadanya. "Bang Adwar kan?"

Adi agak terkejut mendengar sapaan itu. "Ni bang Adwar kan, bang Adi Warsidi yang dulu di Acehkita dan sekarang di Tempo kan?" sambung laki-laki berseragam itu lagi.

Setelah itu Adi sadar bahwa Acehkita dibutuhkan juga oleh tentara. Mengabarkan tentang konflik di Aceh, karena mereka juga punya kepentingan di situ. "Kalau misalnya saya tahu dari awal bahwa TNI itu tahu siapa-siapa saja wartawan Acehkita, liputannya jauh lebih gampang," sesal Adi Warsidi.

Ternyata, hanya prajurit TNI di lapangan yang mengganggap wartawan Acehkita juga lawan, tapi petingginya tak terlalu mempermasalahkannya.

Tidak ada satupun formulasi yang benar dalam meliput perang. Para jurnalis hanya ditempa lewat pengalaman.
Sebagai bentuk pengamanan maka eksklusifitas tidak jadi hal utama. Jika sedang liputan di suatu tempat yang berkonflik, mereka dianjurkan untuk tidak bergerak sendiri. Begitulah saran Adi.

Herman RN
Herman RN
Kata Herman RN, "Menulis isu damai, merawat konflik sebagai suatu ingatan agar menjadi itibar. Menulis damai, mengemban empat sifat Nabi: siddiq, amanah, tablig, fathanah. Jangan nodai titah nabi dengan menulis hasut dan fitnah! Karena menulis itu titah Nabi."

15 Agusutus 2015, Perdamaian sudah dinikmati 10 tahun oleh masyarakat Aceh, sebuah jangka waktu yang tidak pendek, tapi juga tidak menjamin bahwa perdamaian itu akan langgeng selamanya. Upaya menjaga perdamaian itu tak hanya tanggung jawab pemerintah, elemen sipil atau para perunding atau dunia internasional yang menginisiasi perdamaian sepuluh tahun lalu.

Upaya merawat perdamaian juga perlu melibatkan media. Sebab medialah sebagai medium kontrol opini. Pembicara hari itu berharap, media tidak lagi terjebak pada paradigma bad news is good news. Karena jika media tak ikut merawat perdamaian melalui pemberitaan yang menyejukkan, bukan tidak mungkin perdamaian yang dinikmati sekarang ini akan menjadi kenangan manis sesaat.

"Karena itu, media perlu sekali lagi menerapkan paradigma damai dalam menulis sesuatu tentang Aceh, serta tidak terjebak pada model jurnalisme perang di masa konflik dulu," terang Taufik al Mubarak.[]

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr