Tuesday 13 October 2015

Makna Dibalik Motif Batik Mendagri Republik Indonesia


Cut Azzeta dengan batik karyanya | Foto: Ariful Azmi Usman

Dengan pakaian batik bermotif khas Aceh, Menteri dalam negeri Republik Indonesia, Tjahjo Kumolo, tampil begitu bersemangat saat memberi sambutan membuka secara resmi PIN dan TTG di Banda Aceh, Kamis (8/10), bahkan Tjahjo Kumolo tampil berbicara tanpa melihat teks. Namun, tahukah anda apa makna dibalik motif batik tersebut?

BANDA ACEH-Sebuah stan yang terletak di Hall 6 terlihat begitu diminati oleh pengunjung, stan ini terletak paling sudut di ujung sebelah kiri setelah melalui pintu depan masuk Hall 5. Jelas tertulis di salah satu sisi stan, Batik Aceh, yang menjadi nama stan tersebut.

Penulis coba mengamati satu persatu batik yang terpajang di stan itu, motifnya terlihat beragam, dan corak warnanya juga bermacam. Hingga sederet baju batik dengan warna merah terang juga tertata rapi di sangkutannya. Kelak diketahui, ternyata motif dan warna baju ini adalah yang digunakan oleh Menteri dalam negeri Republik Indonesia, Tjahjo Kumolo, dan pejabat pemerintah lainnya pada acara itu.

Seorang Ibu, terlihat duduk di kursi yang ada di stan Batik itu, tanpa ragu saya mencoba menghampirinya dan sedikit bertanya tentang baju yang digunakan oleh bapak Mendagri, ternyata benar, Ibu bernama Cut Azzeta inilah yang membuat motif batik tersebut. Setelah berbincang beberapa menit, ternyata baju dengan motif itu telah laku hingga 500 potong, diluar dari yang dipesan oleh pemerintah untuk pejabat. Dan sudah mendapat izin untuk dijual.

Motif batik bukanlah sekadar motif biasa, dibalik setiap ukiran motifnya ternyata selalu memiliki makna, seperti dikatakan Cut Azzeta, pengrajin batik adalah seniman, karena hasil karya yang dilahirkan adalah sebuah karya seni. "Ada makna dalam setiap motifnya," ungkapnya seraya tersenyum memperlihatkan batik hasil karyanya.

Motif batik yang digunakan oleh Mendagri ternyata sangat kental dengan nilai keacehannya, kalau dilihat sekilas memang seakan sama dengan batik-batik pada umumnya. Cut Azzeta pun mulai bercerita, bermula dari pemilihan warna merah, Cut sepakat orang Aceh sangat berani, diterpa bermacam huru hara, Aceh selalu bisa bangkit. Alasan lain juga, bahwa saat ini Aceh dan Indonesia sedang dipimpin oleh warna merah.

"Aceh kalau dilihat dalam sejarah, adalah sebuah bangsa yang sangat tangguh, dan saya rasa sangat cocok warna merah ini saya gunakan untuk membuktikan bahwa Aceh selalu memberi perlawanan, baik terhadap Belanda maupun Jepang, hingga Aceh sangat sulit ditaklukkan," ungkap Cut Azzeta, baju tersebut masih di tangannya.
Nilai keacehan yang sangat kental dibuatnya dengan alasan bahwa acara tersebut berlangsung di Aceh. 

"Ini merupakan baju nasional untuk promosi Aceh, melalui baju ini saya ingin menyampaikan bahwa Aceh punya banyak kekayaan dan adat istiadat, serta budaya yang luar biasa. Memang tidak semua saya lukiskan dalam baju ini, tapi ini sudah mewakili," sebut perempuan kelahiran 41 tahun silam ini.

Praktis, saat acara pembukaan Pekan Inovasi (PIN) Perkembangan Desa/Kelurahan Nasional I dan TTG Nasional XVII tahun 2015 di Stadion Harapan Bangsa Lhong Raya,  Banda Aceh, Gubernur Zaini Abdullah, Tarmizi A Karim dan sejumlah pejabat pemerintah lainnya yang mengenakan pakaian ini juga terlihat begitu gagah.

Dalam motif yang sekilas terlihat abstrak itu, dirinya menunjuk beberapa ikon Aceh yang terukir disana, diantaranya adalah kupiah mekutop, pintu Aceh, rencong, lidah api, Samudra Pasai, Karawang Gayo, batu giok, beras, padi, kapas, bungong jeumpa dan aliran sungai Krueng Daroy. 

"Batu giok saya gambarkan disini kecil-kecil sebagai bukti bahwa Aceh saat ini sedang menjadi kiblatnya batu giok ini, Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, serta padi dan kapas ini membuktikan bahwa Aceh kaya dengan hasil alam, saya rasa ini adalah hal yang luar biasa," tuturnya menjelaskan. 

Soal harga satuan baju tersebut, sebenarnya, menurut perempuan kelahiran Banda Aceh itu ada lima tingkatan, sesuai dengan kualitas kain yang digunakan, standarnya Rp. 250 ribu. Dirinya mengaku, awalnya tidak menjual baju-baju tersebut, karena pesanan dari pemerintah, namun karena antusias masyarakat dan mendapat izin dari Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Provinsi Aceh, Zulkifli, barulah baju tersebut dijual kepada pengunjung. 

"Harganya yang Rp 300 ribu juga ada, yang Rp 600 ribu juga ada," sebutnya. Khusus untuk mendagri, dikatakannya menggunakan bahan nomor satu, ditanya harga kain yang digunakan untuk baju Mendagri Tjahjo Kumolo, Cut Azzeta enggan menyebut detail harganya, dia hanya mengatakan harga kisaran di atas satu jutaan, tapi tidak sampai sepuluh juta. 

Sebagai putra Aceh, Cut Azzeta yang juga pernah membuat batik Tsunami dan telah dipajang di museum Tsunami saat ini, juga mengungkapkan keinginannya yang tinggi untuk mempromosikan Aceh melalui batik. 

"Semoga ini menjadi kenyataan, bisa terus memperkenalkan Aceh dari batik, karena sangat banyak sejarah dan kekayaan Aceh yang sudah tenggelam dan saya pikir ini perlu diangkat kembali."

Cut Azzeta mengajak masyarakat Aceh untuk berkarya dan belajar seni batik, serta mengharapkan dukungan dari pemerintah untuk mendukung karya seni tersebut. "Orang sabar orang yang punya jiwa seni, membatik itu perlu kesabaran," Cut mengakhiri.

Acara PIN dan TTG masih berlangsung di Banda Aceh dan akan berakhir pada 12 Oktober 2015. Ribuan masyarakat datang dari sejumlah wilayah untuk menyaksikan pameran unggulan dari sejumlah Provinsi yang ada di Nusantara.[]

Tulisan ini sudah pernah dimuat oleh koran Harian Rakyat Aceh dan Indopos

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr