Pukul 13.00 WIB
"Awan sudah mendung menghitam, namun kenapa tak jua hujan turun?" Tanya teman satu rumah.
"Barangkali, hujan akan turun sebentar lagi."
Aku masuk ke dalam kamar, dua sisi jendela terbuka lebar dengan besi penyangganya. Tak seperti biasa, jendela hanya terbuka satu sisi.
Cermin dan sisir terpaku di sisi kanan jendela, tas ransel berwarna loreng berada di sebelah kiri, sama halnya bergantung karena paku.
Sejenak merebahkan punggung di atas ranjang, aku pun terlelap. Masuk dalam terowongan mimpi yang aku tak mengerti, hanya laut dan aku mandi bersama seorang teman yang kelak aku masih teringat. "Mimpi yang tiada arti."
Pukul 15.00 WIB
Aku terbangun, rintikan hujan masuk melalui jendela dan membangunkanku, pecahan butiran air lagi-lagi terpercik ke wajahku yang tak kuasa untuk bangun. Langit semakin gelap, matahari seperti tak bersinar lagi.
Pukul 15.10 WIB
Kamar mandi yang beratap seng, tak membuat aku bermandikan gerimis hujan. Namun, pompa air, membuatku lebih basah dari sekedar percikan hujan di siang bolong. Satu, dua, muka kusapukan air. Handuk bercorak kuning putih, menjadi pengering muka yang basah.
Pukul 15.15 WIB
Setelah semua selesai, satu ransel berisi laptop dan buku karya Orhan Pamuk, aku bergegas menuju warung kopi di sudut kota Banda Aceh. Gemericik air dari langit, tampak turun hinggap di daun-daun pohon rambutan. Aku tak menghiraukan, hanya berharap dalam hati, Hujan! Jangan turun sebelum aku tiba.
Aku berangkat dengan kaos oblong dan helm, aku tak punya baju anti hujan, hanya celana kain dan sepatu yang sempat kubeli saat aku singgah di Istanbul setahun silam. Sepatu itu masih tahan, meski dihadang badai dan disiram hujan karena dipakai oleh orang yang tak punya kendaraan beroda empat.
Helm yang kugunakan dengan kaca hitam jika dilihat dari luar, putih jika mataku memandang jalan dari dalam. Mulai diserang rintikan hujan saat aku menerobos jalan yang dilingkupi pohon-pohon hijau, lubang di jalan menghambatku berjalan sedikit lebih cepat.
Kambing berlarian mencari teduhan dari hujan, anak-anak menunggu jemputan orang tua di pelataran parkir sekolah, debu-debu ditiup dera angin yang menerpa, satu persatu kendaraan roda dua dan roda tiga berselisih lajur denganku di jalur yang sama, satu persatu orang yang mengendarai kendaraan dengan tak sabar menerobos dari ruang kecil sisi kananku. Penjual koran mulai menutup kios kecilnya, orang-orang semakin nekat melajukan sepada motornya.
Pukul 15.25 WIB
Aku menatap langit yang gelap kelam tak bercahaya. "Hujan akan turun, aku tak punya mantel. Hujan jangan turun, aku tak punya tempat berteduh, hujan bersabarlah, aku akan sampai, hujan jangan turun sebelum aku tiba," aku membatin.
Speedometer menunjuk-nunjuk turun naik di angka 80-90. Aku sudah sampai di persimpangan terakhir, pertanda tujuan sudah hampir tiba. Aku masih berharap semoga tidak hujan, sebelum aku tiba di tujuan.
Pukul 15.27 WIB
Kursi merah berjejeran dengan meja keramik berwarna putih. Sudah lama menungguku, hujan belum turun, aku sudah sampai. Sepeda motorku sudah terparkir di tempat yang tidak mungkin dicapai oleh hujan. Aku masuk ke dalam warung kopi,
"Hujan, silahkan turun," aku bergumam.
Matahari diluar kembali terik dan memancarkan sinarnya.
*Penulis Ecek-Ecek yang selalu berharap kritikan, 31 Agustus 2015
No comments:
Post a Comment