Thursday 2 February 2017

Hanya untuk Roma

DUA puluh tahun yang lalu, seseorang datang mengetuk pintu apartemen kami di Roma. Ibuku, Fiorella, ia menghampiri. Satu hal, ketukan itu menentukan karir sepakbolaku.

Ketika dia membuka pintu, sekelompok pria memperkenalkan diri sebagai direktur sepakbola. Tapi mereka bukan dari Roma. Mereka mengenakan (pakaian) merah dan hitam.

Mereka berasal dari AC Milan. Dan mereka ingin aku datang bermain untuk tim mereka. Dengan biaya berapapun. 

Ibuku mengangkat tangannya. Anda pikir, ibuku akan berkata apa pada pria itu?

Bila kamu adalah seorang anak di Roma, kamu hanya punya dua hal yang mungkin bisa kamu pilih: Antara merah atau biru. AS Roma atau Lazio. Tapi dalam keluarga kami, hanya ada satu pilihan.

Hal yang disayangkan, adalah ketika aku tidak mengenal kakekku karena dia meninggal ketika aku masih kecil. Tapi dia meninggalkan aku sebuah hadiah yang besar. Aku sangat beruntung, kakekku, Gianluca adalah penggemar yang sangat fanatik pada Roma, dan ia menurunkan kecintaannya pada ayahku, yang kemudian turun padaku dan adikku. Cinta kami untuk Roma adalah sesuatu yang terus berjalan. Roma lebih dari sebuah klub sepak bola. Roma telah menjadi bagian dari keluarga kami, darah dan jiwa kami.

Kami tidak bisa menonton selalu pertandingan di televisi saat Roma bertanding, karena pertandingan Roma tidak selalu ditayangkan pada era 80-an. Tapi ketika aku berusia tujuh tahun, ayah mendapat tiket dan akhirnya aku bisa menonton I Lupi, Wolves, di Stadion Olimpico.

Aku akan menutup mata dan mengingat perasaan saat-saat itu. Warna-warni, nyanyian, bom asap yang diledakkan. Aku seperti anak kecil seorang diri, berada di stadion di antara penggemar Roma yang lain, sesuatu seakan terus menyala dalam diriku. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan pengalaman ini ...

Bellissimo (indah).

Itulah satu-satunya kata yang pantas terucap.

Sekeliling kota kami, di San Giovanni, aku berpikir, tidak seorang pun pernah melihat aku berjalan tanpa bola di tangan atau di kaki. Di jalan-jalan batu, antara katedral, di gang-gang, di mana saja - kami akan bermain sepakbola. Bagiku, sebagai seorang anak muda, itu lebih dari sekedar cinta pada sepakbola. 

Aku sudah punya ambisi untuk memulai sebuah karir. Aku mulai bermain untuk klub junior. Aku punya poster dan kliping koran di dinding kamar tentang Giannini, kapten Roma. Dia adalah seorang ikon, simbol. Dia adalah anak dari Roma. Sama seperti kami.

Ketika aku berusia 13 tahun, seseorang mengetuk pintu kami.

Orang-orang dari AC Milan yang memintaku untuk bergabung dengan klub sepakbola mereka. Sebuah kesempatan untuk bergabung dengan klub besar Italia. Apa yang akan kupilih?

Nah, tentu saja itu bukan keputusanku.

Ibuku adalah bos. Dia masih bos. Katakanlah, dia sangat mengetahui anak-anaknya. Seperti ibu Italia, dia sedikit overprotective. Dia tidak ingin aku meninggalkan rumah karena takut bahwa sesuatu mungkin terjadi.

"Tidak, tidak," katanya kepada direksi. Itu semua yang ia katakan. "Mi dispiace (maaf). Tidak tidak."

Kesempatan itu telah berakhir. Transfer pertama saya ditolak oleh bos.

Ayah selalu mengantarkanku untuk bertanding pada akhir pekan. Tapi Senin sampai Jumat menjadi tanggung jawab ibu. Sulit sebenarnya mengatakan tidak untuk AC Milan. Karena akan memberi banyak uang untuk keluarga kami. Tapi ibuku memberi sebuah pelajaran. "Rumahmu (Roma) adalah hal yang paling penting dalam hidup."

Hanya beberapa minggu kemudian, setelah mereka memantau pertandingan mudaku (junior), Roma membuatku sebuah tawaran. Aku akan memakai kuning dan merah.

Ibu Tahu. Dia membantu karirku dalam banyak cara. Ya, dia adalah pelindung - Dia masih! - Tapi dia membuat begitu banyak pengorbanan untuk memastikan aku berada di lapangan setiap hari. Aku tahu tahun-tahun awal yang keras pada dirinya.

Ibu selalu menjadi pendorong bagiku untuk berlatih. Di luar lapangan, dia selalu menungguku. Saat aku berlatih, dia akan menunggu dua, tiga, kadang hingga empat jam. Dia akan menunggu dalam hujan, dalam dingin, dan itu tidak masalah.

Dia menunggu hingga aku meraih mimpi.

Aku tidak tahu bahwa aku akan melakukan debut untuk Roma di Stadion Olimpico sampai 90 menit sebelum pertandingan.Penggemar Roma sangat berbeda dari orang lain. Ada begitu banyak diharapkan dari Anda ketika Anda memakai kemeja Roma. Anda harus membuktikan nilai Anda, dan tidak ada banyak ruang bagi Anda untuk membuat kesalahan.

Ketika aku berjalan ke lapangan untuk pertandingan pertama, aku menemukan sebuah kebanggaan karena akan bermain untuk tempatku dibesarkan. Untuk kakek. Untuk keluargaku.

Tekanan selama 25 tahun - hak istimewa - tidak pernah berubah.

Tentu saja, ada kesalahan. Dan ada bahkan saat 12 tahun yang lalu ketika aku berpikir meninggalkan Roma untuk Real Madrid. Ketika tim yang sangat sukses, mungkin yang terkuat di dunia, meminta Anda untuk bergabung, Anda mulai berpikir tentang bagaimana hidup di tempat lain. Saya telah berbicara dengan presiden Roma, dan yang membuat perbedaan. Tapi pada akhirnya, pembicaraanku dengan keluarga mengingatkan tentang makna hidup.

Rumah adalah segalanya.

Selama 39 tahun, Roma telah menjadi rumahku. Selama 25 tahun sebagai pemain sepakbola, Roma telah menjadi rumah bagiku. Apakah memenangkan Scudetto atau bermain di Liga Champions, aku berharap bahwa aku telah mewakili dan mengangkat warna Roma setinggi mungkin. Aku berharap bahwa aku telah membuat Anda (pendukung) bangga.

Anda bisa mengatakan aku seorang pria yang diatur dalam jalan-Nya. Aku bahkan tidak keluar dari rumah orangtuaku sampai aku bertunangan dengan istriku, Ilary. Jadi ketika aku melihat kembali pada waktu aku di sini dan apa yang aku akan kehilangan, aku tahu itu akan menjadi hal biasa nantinya, hal-hal yang sehari-hari akan kuleati. Waktu-waktu latihan, begitu banyak obrolan di ruang ganti. Aku berpikir, hal yang akan sangat kehilangan adalah saat-saat berbagi kopi dengan rekan tim setiap hari. Mungkin jika aku kembali sebagai direktur suatu hari, saat-saat itu akan tetap ada.

Orang-orang bertanya, mengapa Anda menghabiskan seluruh hidup di Roma?

Roma adalah keluarga saya, teman-teman saya, orang-orang yang saya cintai. Roma adalah laut, pegunungan, monumen. Roma, tentu saja, adalah orang-orang Romawi.

Roma adalah kuning dan merah.

Roma, bagi saya, adalah dunia.

Klub ini, kota ini, telah menjadi bagian hidup saya (Totti).

Selamanya. (*)


Sebuah tulisan Francesco Totti dengan judul for Rome, terbit di The Players’ Tribune edisi 31 Agustus 2016.


No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr