Saturday 27 June 2015

Memaknai 'Mad Meugang' di Aceh



BANDA ACEH-Provinsi Aceh yang dulu pernah menjadi salah satu pusat Islam terkuat dan masuk lima besar dunia pada masa kesultanan Aceh yang mencapai puncak kejayaan di masa kesultanan Sultan Iskandar Muda (1593-1636), ternyata juga memiliki tradisi yang sangat kental yang akrab dengan masyarakatnya.

Tradisi itu hadir dalam masyarakat Aceh setiap tiga kali dalam setahun, biasanya dilakukan sehari sebelum Lebaran Idul Fitri, Idul Adha, dan tentunya sehari sebelum Ramadhan yang saat ini sudah di depan mata. Biasanya masyarakat setiap kampung di wilayah pimpinan Gubernur Zaini Abdullah ini ketika mulai memasuki hari yang dinanti tersebut, mulai pagi hari warga sudah mengerubungi masjid di dekat tempat tinggalnya.

Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Badruzzaman Ismail menyebutnya Mad Meugang. Walau saat ini di kalangan masyarakat perkotaan sering menamainya Hari Meugang. Dikatakannya, asal kata Mad Meugang sudah tertulis dalam Qanun Al-Asyi di masa Kesultanan Aceh Darussalam atau yang disebut juga Meukuta Alam oleh para ahli sejarah. Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam merupakan sumber hukum dari kerajaan Aceh Darussalam waktu itu..

Tidak mengherankan jika pada hari ini disaat Aceh menjadi salah satu wilayah tertua di Nusantara dengan usia yang sudah mencapai 810 tahun, Aceh masih sangat kental dengan nilai-nilai budaya dan keislamannya. 
"Meugang ini bukan sekedar tradisi biasa, tapi ini adalah perwujudan atau sambutan masyarakat yang akan memulai hari-hari penuh berkah. Artinya dengan santapan daging sehari sebelum hari Ramadhan, tentu ini juga sebuah perbaikan gizi, karena selanjutnya kita akan menahan lapar dan dahaga," kata Badruzzaman.

Di kampung-kampung di Aceh sebagaimana dirasakan bersama, setiap anak-anaknya yang merantau jauh akan memilih untuk pulang ke rumah demi menikmati daging bersama keluarga. Badruzzaman menyimpulkan, ada tiga hal pokok utama yang menjadikan Mad Meugang atau Meugang terus bertahan dalam tradisi masyarakat Aceh.

Pertama Syiar, dijabarkannya, pada masa dahulu kehidupan tidak secanggih saat ini, ketika masyarakat mendengarkan akan ada meugang, artinya hari besar akan tiba, dan masyarakat sudah bersiap untuk menyambut hari tersebut. Seperti Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha.

Kedua, disampaikannya meugang jika saat menyamut bulan Ramadhan adalah sebagai ajang untuk mempersiapkan diri menahan segala hawa nafsu. Dan makan daging adalah salah satu syarat untuk melakukan perbaikan gizi, dan tentu dengan manfaat yang lainnya juga.

Kedua, dikatakan ketua Majelis Adat Aceh (MAA) meugang adalah sebagai pendorong ekonomi masyarakat, pada masa kesultanan Aceh dalam prakteknya setiap masyarakat akan bangga dengan datangnya hari itu, karena akan ada orang-orang di pemerintahan yang akan membeli hewan dari masyarakat dan akan disembelih untuk dibagikan ke seluruh masyarakat.

Namun, menurut realita yang ada seharusnya tradisi meugang yang tertulis seperti dalam Qanun Al-Asyi harus diterapkan kembali saat ini di Aceh. Karena praktek sekarang sudah berbeda, saat ini ketika menjelang Ramadhan harga daging meningkat dan bahan-bahan lainnya juga naik tajam. Sangat disayangkan ketika orang-orang miskin dan kurang mampu serta anak yatim piatu tidak mampu untuk membeli daging.

Seharusnya Aceh juga mencontoh apa yang dilakukan oleh kesultanan Aceh dulu, yaitu membagi daging ke seluruh lapisan masyarakat Aceh secara merata oleh pemerintah, serta harga daging di pasaran juga bisa dikontrol dan membuat masyarakat bisa menikmati indahnya meugang bersama keluarga. "Tapi agak lain juga di Aceh saat ini, meski harga daging yang melambung tinggi, tetap ada juga yang membeli daging tersebut," lanjutnya. 

Badruzzaman berharap kepada masyarakat Aceh agar terus menjaga tradisi ini, menurutnya ini penting, sebagai ajang berkumpul keluarga rantau untuk pulang kampung, sebagai bentuk persatuan pemuda dan seluruh masyarakat, juga sebagai kesempatan bersilaturahmi disaat membagi-bagikan daging meugang. Dirinya juga berharap khusus kepada generasi muda Aceh agar mempelajari sejarah dan kebudayaan Aceh agar tidak salah dalam bertindak, serta mengenal jati dirinya.

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr