Monday 20 February 2017

Zidane, Kaka, dan Hamlet

Henrikh Mkhitaryan

 Catatan HENRIKH MKHITARYAN

Saya seorang anak kecil pemalu dari Armenia dan tak bisa berbahasa Portugis. Tapi, saya tidak peduli. Sebab, yang terpenting bagi saya, telah berada di surganya sepak bola. Saya bermimpi menjadi seperti Kaka dan Brasil merupakan rumah dari gaya sepak bola kreatif. Mereka menyebutnya ginga

Saya mempelajari bahasa Portugis selama dua bulan sebelum akhirnya menyerah. Saya berangkat ke sana dengan dua pemain asal Armenia. Ketika itu, kami tiba di sana dan menyadari ada seorang pemain Brasil yang menjadi teman sekamar. Dia kurus seperti saya dan memiliki rambut gelap.

Dia menyambut kami dan berkata, ’’ Bom dia! Meu nome é Hernanes (Selamat pagi! Nama saya Hernanes).

’’Waktu itu, anak tersebut hanyalah orang asing. Tapi, dia adalah Hernanes, pemain yang sekarang membela Juventus. Kami hidup di pemusatan latihan. Kami makan, berlatih, dan bersenang-senang di sana. Kami tidak pernah ber main PlayStation, hanya menonton televisi, dan semuanya berbahasa Portugis. Jadi, dalam pekan-pekan pertama, sangatlah berat. Saya tak bisa berkomunikasi dengan pemain Brasil. Mereka hanya mengatakan sesuatu, tersenyum, dan menepuk punggung saya. Orang Brasil.

----


SALAH satu memori awal saya adalah memohon kepada ayah, Hamlet, untuk ikut ke lokasi latihannya di salah satu klub Prancis. Saya baru berusia 5 tahun. Pada 1980-an, sebelum saya lahir, ayah bermain untuk liga top Soviet di negara asal kami, Armenia. Dia kecil, tapi sangat cepat. Majalah tentara Soviet menghormatinya dengan memberikan penghargaan ’’Knight of Attack’’ pada 1984.

Pada 1989, ketika saya masih bayi, kami pindah ke Prancis karena adanya konflik di Armenia. Ayah bermain untuk klub Valence di level kedua kompetisi Prancis. Saya selalu menangis ketika dia pergi berlatih. Setiap pagi, saya katakan, ’’Ayah, ajak saya bersamamu. Mohon, mohon bawa aku!’’

Pada usia itu, saya belum begitu peduli soal sepak bola. Saya hanya ingin berada di dekat ayah. Tapi, dia tidak ingin terganggu saat berlatih lantaran mengkhawatirkan saya berlari ke mana-mana. Jadi, dia punya cara cerdas untuk membohongi saya.

Suatu pagi, saya katakan, ’’Ayah, bawa saya ke latihan.’’ Dia katakan, ’’Tidak, tidak. Tidak ada latihan hari ini, Henrikh. Saya akan pergi ke supermarket. Saya segera kembali.’’ Lalu, dia pergi ke tempat latihan. Saya terus menanti dan menanti. Dia pulang beberapa jam kemudian. Tanpa belanjaan. Saya kesal. Saya mulai menangis.

’’Kamu bohong kepadaku! Kamu tidak ke supermarket! Kamu bermain sepak bola!’’

Momen-momen saya dengan ayah sangat berarti. Sayang begitu pendek. Ketika saya 6 tahun, orang tua saya mengatakan akan kembali ke Armenia. Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Ayah berhenti bermain sepak bola dan dia berada di rumah sepanjang waktu.

Saya tak menyadari itu, tapi ayah terkena tumor otak. Segalanya berjalan begitu cepat. Hanya setahun kemudian, dia meninggal. Karena masih terlalu muda, saya tidak sepenuhnya menyadari konsep kematian.

Saya hanya ingat ibu dan kakak perempuan saya selalu menangis. Dan, saya bertanya kepada mereka, ’’Di mana ayah?’’ Tak ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi.

Hari demi hari, mereka mulai menjelaskan kepada saya apa yang sebenarnya terjadi. Saya ingat, ibu berkata, ’’Henrikh, dia tak akan bersama kita lagi.’’ Saya pun berpikir, takkan pernah? Tak akan pernah itu ibarat waktu yang sangat panjang bagi seorang anak berusia 7 tahun.

Kami memiliki banyak rekaman video ayah bermain di Prancis. Saya pun sering menontonnya untuk mengingat momen itu. Dua sampai tiga kali dalam sepekan saya menonton pertandingannya. Itu memberikan banyak kebahagiaan. Terutama ketika kamera menunjukkan dia kala merayakan gol atau memeluk rekan setimnya. Dalam video itu, ayah masih hidup. Tahun demi tahun setelah ayah meninggal, saya mulai berlatih sepak bola. Dia telah menggerakkan saya. Dia idola saya. Saya katakan kepada diri sendiri, saya ingin berlari seperti dia. Saya ingin memiliki tendangan seperti dia.

Sejak usia 10 tahun, seluruh hidup saya hanya untuk sepak bola. Berlatih, membaca, menonton, dan bahkan bermain PlayStation. Saya sangat berfokus akan itu. Terutama saya mencintai para pemain kreatif. Saya ingin bermain seperti Zinedine Zidane, Kaka, dan Hamlet.
Selepas ayah meninggal, ibu bekerja untuk menyokong keluarga. Jadi, dia mulai beker ja di federasi sepak bola Armenia.

Itu menjadi lucu ketika suatu saat saya mulai bermain untuk skuad muda Armenia. Apabila saya mulai emosional dan berulah di lapangan, ibu datang kepada saya dan berkata, ’’Henrikh! Apa yang kamu lakukan? Kamu tak boleh membuat masalah saat bekerja.’’
Saya katakan, ’’ Tapi Ibu, mereka menendang saya! Mereka...’’ Ibu membalas, ’’Tidak, tidak, tidak. Kamu harus sopan.’’

Hidup kami begitu keras setelah ayah meninggal. Ibu dan kakak perempuan saya terus menekan. Mereka bahkan mendorong saya pergi ke Brasil pada usia 13 tahun untuk berlatih dengan Sao Paulo selama empat bulan. Itu momen yang sangat menarik dalam hidup saya. Sebab, sudah luar biasa secara natural. Sulit mendeskripsikannya. Kamu harus merasakan kehangatan di sekitar mereka dan kemudian menyadarinya.

Sungguh bersyukur, semua orang berbicara dengan bahasa universal sepak bola. Kami menjadi teman baik dengan berkomunikasi secara kreatif di lapangan. Saya ingat, saya mencetak beberapa gol dalam sebuah latihan dan saya pikir, ’’Wow, saya anak Armenia yang mencetak gol di Brasil.’’ Itu membuat saya serasa menjadi bintang.

Saya sangat tertarik kepada budayanya. Sangat berbeda. Contohnya, kami akan berlatih selama 45 menit, lalu istirahat 15 menit. Kami akan memakan beberapa buah, minum jus, dan kemudian kembali untuk berlatih 45 menit lagi. Mereka berlatih layaknya pertandingan sungguhan. Di Armenia, pada usia saya, kami lebih melatih fisik ketimbang teknik. Di Brasil, sangat teknik dan selalu dengan bola.

Faktanya, apabila anak-anak tidak memiliki bola, mereka akan bermain dengan kaus kaki yang dibuntel dan dijadikan bola. Semua tentang bola.

Setelah beberapa bulan, saya mulai bisa berbahasa Portugis dasar dengan baik dan saya mengajari Hernanes huruf Armenia. Tanpa PlayStation, tak ada yang bisa kami lakukan.

Saat itu sangat penting buat saya karena mempertajam gaya saya sebagai pemain. Ketika kembali ke Armenia setelah empat bulan di Brasil, saya masih kurus dan lemah. Namun, saya memiliki teknik dan skill. Saya merasa bebas di lapangan. Saya merasa seperti Ronaldinho-nya Armenia (hahaha... Tidak, saya bercanda). Itu sangat menantang karena sekarang ada tiga bahasa di otak saya, Armenia, Prancis, dan Portugis. Mereka bagaikan berkompetisi di otak saya.

Saya mengatakan suatu kalimat sebagian dengan bahasa Armenia dan sebagian lagi bahasa Portugis (Sekarang saya melakukannya dalam bahasa Inggris. Jadi, mohon maaf kalau ada diksi yang lucu).
Kemudian, ketika berusia 20 tahun, saya pindah ke Metalurg Donetsk di Ukraina. Saya pun sedikit menambahkan bahasa Ukraina dan Rusia dalam otak saya. Ada sesuatu yang lucu ketika kemudian saya pindah ke Shakhtar Donetsk. Banyak yang menyatakan saya akan sulit sukses di sana karena ada 12 pemain Brasil dalam tim itu.

Saya tidak berkata apa pun. Saya hanya tertawa sendiri. Dalam pikiran saya, saya separo Brasil. Tentu saja, saya mengalami banyak hal luar biasa dengan rekan setim. Tiga tahun di Shakhtar sangat brilian. Saya mencatat rekor gol di Liga Ukraina pada 2013. Rasanya menyenangkan membungkam mulut mereka yang mengatakan saya tak bisa sukses di sana lantaran berasal dari Armenia. (*/bersambung)

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr