Saturday 14 January 2017

Membaca adalah Bersenang-senang Paling Senang

Sedang membaca, jangan diganggu.
SAYA salut pada teman-teman masa SMA, saat di pondok pesantren, mereka menghabiskan waktu untuk membaca. Membaca Novel, Komik dan bacaan-bacaan lain. Tapi untuk membaca komik Naruto, One Piece dan sejenisnya, semua butuh perjuangan. Begitu dengan penikmat bola.

Di Kota Lhokseumawe, Aceh, ada sebuah toko yang khusus menyewakan komik-komik dan novel. Mereka biasa membuatkan kartu untuk member yang biasa menyewa bacaan. Saya lupa apa nama tokonya, rekan-rekan saya orang yang cerdik, setiap pekan mereka menyewa 10-20 komik waktu itu.

Lumayan banyak, untuk baca juga harus antrian. Tapi menariknya, bagi yang ingin membaca biasanya mengumpulkan lebih dulu duet bareng-bareng. Saya tidak termasuk di dalamnya. 

Hari Jumat adalah hari libur pesantren, beberapa rekan sudah mengatur misi untuk agendanya. Sebagian main Play Station (PS), sebagian lain jalan-jalan, ada juga yang memanfaatkan untuk pangkas. Namun, membaca komik adalah sebuah larangan di pesantren. Lantas ada juga yang berjuang untuk tetap membawa pulang oleh-oleh itu.

Berhasil melewati pemerikasaan security, bukan berarti mereka sudah aman untuk membaca komik di kamar. Sebuah ruang khusus harus disiapkan di bawah lemari untuk menyimpan barang terlarang itu, hingga pada waktunya, ada yang terkena razia dan ada yang selamat.

Sebagian lain teman seperjuangan saya adalah perajin baca Novel, kebanyakan Novel yang dibaca juga tidak jauh-jauh dari soal cinta. Maka tidak jarang, diantara mereka yang mahir mengolah si kulit bundar, eh maksudnya mengolah kata dalam sepucuk surat untuk santriwati (siswi), atau berbicara langsung saat sore-sore sambil berjumpa orang tua masing-masing di Warkop.

***

Hari Jumat bagi saya tentu beda dengan mereka, kami juga punya jamaah sendiri. Namanya jamaah bola, bisa dikata demikian, karena kami adalah pasukan antri majalah Bola dan Soccer. Kalau ada gambar idola di koran, potong, lalu tempel di lemari.

Pernah suatu ketika, itu adalah saat shubuh. Ini adalah cobaan terbesar bagi jamaah bola, pukul 04.30 pagi saat mata baru terbuka, khatib langsung berkhutbah dalam Hujrah. Kamar kami, dipenuhi poster-poster, mulai Shevchenko, Ronaldo di Manchester United, hingga poster-poster legenda entah berantah.

"Astagfirullah, Astagfirullah, bagaimana kamar antum ini. Malaikat tidak akan masuk ke kamar ini bila poster-poster ini antum tempel di dinding." Begitu kira-kira isi ceramah yang menusuk itu, bahkan sempat melebar hingga kemana-mana. Hingga pada akhirnya, poster-poster itu pun dicabut.

Membaca dan menghafal isi kitab gundul adalah kewajiban bagi santri, selain menghafal ayat-ayat al Quran. Itu tentu sangat penting untuk semua orang. Membaca adalah kunci dari segala ilmu, jika tidak membaca, ilmu tidak akan sampai.  

Tapi sayangnya, sedikit diantara kami yang benar-benar menikmati bacaan bolanya. Apalagi, bacaan-bacaan yang menjadi santapan pun masih sekitar hasil Liga Champion malam Rabu dan Kamis. Kecuali bila ada preview laga-laga internasional akhir pekan, atau liga-liga top eropa, bacaan liga dalam negeri baru terbaca kalau bahan bacaan lain sudah habis. Hingga tamat dari pondok, tidak ada pemahaman yang berarti tentang kenikmatan membaca bagi saya pribadi.

***

Membaca dalam arti yang sesungguhnya baru saya dapat setelah kuliah dua tahun. Saya tidak begitu ingat buku apa yang pertama saya baca. Tapi bacaan-bacaan itu terkoneksi satu sama lainnya, hingga saya kian lahap membaca buku-buku dan lupa dengan buku wajib (skripsi) saya di kampus.

Tahun 2015, saat Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) berlangsung di Bandung, Jawa Barat. Selain meliput olahraga sebagai tugas, saya menghabiskan waktu menyisir toko buku, saat itu tak kurang satu juta uang dari kantor lenyap untuk buku-buku.

Novel-novel dari penulis dunia semisal karya Orhan Pamuk, saya meraihnya di Bandung. Juga karya-karya sastra Cina, Turki hingga Rusia, menjadi makanan yang gurih hingga saat ini. Membaca telah menghidupkan sisi lain dari kehidupan saat ini.

Ketika bacaan-bacaan yang saya dapat menarik menurut saya, tidak akan butuh waktu lama untuk saya mengunyah buku-buku itu. Apapun yang orang lain katakan, hal yang terpenting dalam hidup adalah bersenang-senang. Membaca adalah bersenang-senang paling senang. 

Orhan Pamuk menjadi idola usai saya melahab beberapa karyanya, misalnya Snow, Museum of Innocence, dan My Name is Red. Semakin saya membaca, semakin saya merasa bodoh, kenapa tidak dari dulu saya mengikut para jamaah novel dan jamaah komik, yang berjuang membaca meski mereka harus berurusan. Membaca novel memang terkadang orang berpendapat tidak ada guna, tapi untuk dapat menulis, membaca novel akan memperkaya pembendaharaan kata. 

Setiap kata yang dibaca, tidak untuk dijadikan alasan meratap atau sekadar beromantis ke masa lalu dalam sebuah buku sejarah. Kata per-kata akan menjadi sebentuk kenangan dan sumber ide sekaligus. Pamuk adalah manusia rumahan, bercerita Istanbul untuk bercerita biografi diri dan bercerita diri untuk mengingat Istanbul. Ia mengatakan, “Aku melewatkan seluruh masa kanak-kanakku dalam keluarga yang punya ikatan sangat erat di sebuah rumah, sebuah jalan, sebuah lingkungan yang bagiku, sepanjang pengetahuanku, merupakan pusat dunia.” 

1 comment:

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr