Tuesday 31 January 2017

Bunyi Peluit


Catatan, KELECHI IHEANACHO

TATKALA kamu mendengar suara peluit dari jalanan, itu artinya waktunya sepak bola. Sepak bola sebenarnya.

Kamu bisa melihat, ketika muda, saya begitu mencintai sepak bola. Tapi, saat saya tumbuh di Nigeria bagian selatan, yang mirip dengan ghetto (permukiman kumuh). Tempat yang berat untuk seorang anak. Kamu harus bekerja sangat keras untuk bisa tinggal di sana. Dan, keluarga saya tidak punya banyak uang untuk membeli bola yang sebenarnya. 

Sebagian besar teman saya juga tidak memilikinya. Jadi, kami akan berkeliaran di jalanan dan menggunakan apa pun itu yang bisa disepak. Kami akan membuat bola dari kaus kaki atau terpaksa menggunakan balon.

Jadi, ketika kami mendapatkan kesempatan berlatih dengan klub sebenarnya, dengan sepak bola sebenarnya, itu sangat menyenangkan.
Sebagian besar orang tidak memiliki telepon seluler atau internet. Jadi, pelatih klub kami akan pergi ke jalanan di sekitar kampung kami untuk membunyikan peluit. Itu merupakan penanda waktu bagi kami untuk berlatih. Kamu akan menyadari bahwa kamu begitu mendambakan latihan. Kamu akan keluar ke jalan dan mengikuti mereka ke sekolah terdekat di jalanan itu.

Saya tak mengerti mengapa, tapi sepak bola memang hasrat saya. Saya cinta, cinta, sangat cinta sepak bola. Saya selalu seperti itu, meski saya tidak pernah punya kesempatan untuk menyaksikan klub besar bermain saat masih kecil. Keluarga saya tak memiliki televisi dan di Nigeria sangatlah mahal untuk bisa menyaksikan Premier League. 

Ada sebuah tempat di kota yang biasanya disebut ’’game center’’ dan tersedia parabola, tapi kamu harus membayar untuk bisa masuk ke sana. Harganya 50 naira (sekitar 15 sen) untuk laga Premier League dan saya tidak memiliki uang sama sekali. Jadi, saya akan menunggu di luar gedung sembari memainkan sepak bola hingga seseorang keluar dan mengatakan kepada kami apa yang terjadi dalam laga itu.

Saya mengikuti Premier League pada akhir 2000-an dengan hanya melalui cerita mereka. Biaya untuk menyaksikan La Liga lebih murah, hanya 30 naira. Jadi, sesekali saya menabung uang jajan untuk menyaksikan Barcelona bertanding. Saya langsung mencintai Lionel Messi karena caranya memainkan bola dengan kakinya. Beberapa kali saya menyaksikannya, itu sungguh luar biasa.

Ketika berusia 14 tahun, saya mulai bermain untuk Taye Academy di Kota Owerri dan seluruh hidup saya adalah sepak bola. Saya memimpikan bermain di klub tertentu atau pergi ke tempat yang belum saya datangi. Tapi, saya hanya memendam ambisi itu untuk diri sendiri karena saya tidak benar-benar berharap bisa menggapainya. 

Pada 2012, ketika berusia 15 tahun, dengan uang simpanan, saya pergi ke game center untuk menyaksikan pertandingan terakhir Premier League musim itu.

Itu hal besar. Sebab, perburuan gelar begitu ketat. Saya duduk di sana dan menyaksikan Sergio Aguero mencetak gol di menit akhir dan membawa Manchester City memenangkan gelar –merebutnya dari Manchester United. Di televisi, Sergio melepas baju nya dan memutar-mutarnya di atas kepala. Semua orang di game center menggila.

Itu mungkin kali pertama saya menyaksikan pertandingan Manchester City. Saya belum pernah ke Inggris. Saya tak membayangkan itu kalau beberapa tahun lagi akan bermain satu tim dengan Sergio Aguero. Akhir tahun itu, saya dipanggil untuk membela timnas Nigeria U-17. Itu merupakan kesempatan besar. Kami pergi untuk pemusatan latihan di luar negeri. Tapi, pada awal kamp latihan dimulai, saya menerima kabar dari rumah bahwa ibu sakit. Saya tak tahu seberapa parah itu. Hanya tahu dia sakit. Itu merupakan kamp yang sangat panjang dan berat. 

Jadi, saya tak bisa pulang menemui ibu. Ini peluang saya menggapai mimpi. Kabar berikutnya dari rumah, beberapa pekan kemudian, adalah ibu meninggal. Saya sangat sedih. Itu adalah waktu yang sangat berat, tapi saya tetap bertahan di kamp latihan. Ibu mencintai anaknya dan dia selalu mendorong saya bekerja keras. Apakah itu untuk latihan sepak bola atau membaca buku. Tahun berikutnya, timnas Nigeria memenangi Piala Dunia U-17 2013. Saya mencetak lima gol di turnamen itu. Setiap kali mencetak gol, saya menunjukkan jari ke langit.

Setelah turnamen, beberapa klub Eropa tertarik untuk merekrut saya: Arsenal, FC Porto, dan beberapa lagi. Dan tentu saja Manchester City. Saya tak tahu banyak tentang klub-klub itu. Saya pikir akan memilih Porto karena saya tahu banyak pemain Afrika yang sukses di sana pada masa silam. Saya tidak benar-benar percaya akan bermain untuk City. Mereka memiliki banyak pemain luar biasa. Tapi, ayah berkata bahwa saya harus memilih City lantaran dia menilai saya akan meraih hal hebat di sana.
Saya mendengar kata ayah.

Butuh waktu bagi saya menunjukkan diri masuk ke tim utama. Tapi, segalanya yang saya lalui, momen-momen sulit, layak untuk ini semua. Pada September, saya menggapai apa yang diimpikan seorang anak. Saya berjalan menuju lapangan di Old Trafford dan menjadi starter untuk Derby Manchester.

Karena baru berusia 19 tahun, saya tidak berharap bisa bermain sebagai pemain inti. Ketika manajer mengatakan bahwa saya akan bermain sejak awal, saya mencoba berkata kepada diri sendiri, ini hanya pertandingan sepak bola. Tapi, sejujurnya, itu bukan game yang normal. Atmosfer dan intensitasnya begitu terasa sejak melangkahkan kaki ke lapangan.

Dengan skor yang masih 0-0 pada menit ke-15, terlihat bola umpan panjang ke arah saya dari Aleksandar Kolarov. Saya membelakangi gawang Manchester United, tapi saya merasa Kevin de Bruyne akan berlari ke sayap. Jadi, saya melompat dan melakukan sundulan ke belakang. Kevin menuju ke arah bola dan mencetak gol brilian.

Saya sangat senang. Kemudian, pada menit ke-36, sesuatu yang luar biasa terjadi. Saya sedang berdiri di depan gawang United ketika Kevin melepas tembakan ke arah gawang. Bola menuju ke kaki kanan saya. Saya menendangnya ke gawang tanpa berpikir. Saya melihat asisten wasit dan tak percaya telah mencetak gol.

Rekan-rekan berlari ke arah saya dan saya merasa bisa mendeskripsikan inilah perasaan Derby Manchester. Tak ada yang memahami bagaimana perasaan saya ketika mencetak gol dalam derby. Saya bahkan tidak merayakannya. Perasaan saya begitu tumpah ruah.

Empat tahun lalu, saya hanya bisa menyaksikan ini melalui televisi. Kini, orang-orang di game center menyaksikan gol itu. Mungkin seorang anak yang tak memiliki uang sebesar 50 naira menanti di luar gedung, menendang bola atau balon. Mungkin seseorang akan keluar dan berkata kepada mereka, ’’Manchester City menang, Kelechi mencetak gol’’.

Saya harap, saya bisa menunjukkan kepada mereka bahwa mereka bisa melakukan segalanya. Ketika pulang ke Nigeria sekarang, saya selalu membawa tas yang dipenuhi jersey Manchester City untuk anak-anak. Kalau ke Owerri sekarang, kamu akan menyaksikan banyak anak-anak bermain sepak bola di jalan dengan memakai kostum biru. Nigeria kini memiliki banyak fans City dan mereka akan punya lebih banyak setiap kali saya pulang. (*) 

Tulisan Kelechi Iheanacho dengan judul The Whistle yang terbit di The Players’ Tribune edisi 9 Desember 2016.

No comments:

Post a Comment

Subscribe

Total Visitor Blog

Flickr